Buku Panduan PPT Pengantar K3 Agroindustri

 


Buku panduan ini berisi beberapa pembahasan mengenai pengantar k3 agroindustri, yaitu ruang lingkup agribisnis dan agroindustri, peranan agribisnis dan agroindustri dalam perekonomian, permasalahn umum pekerja dan kendala penerapan k3, statistika k3 agribisnis dan agroindustri.

A.  Ruang Lingkup Agribisnis dan Agroindustri

a.     Ruang Lingkup Agribisnis

Agribisnis merupakan suatu ilmu manajemen lintas bidang yang mendukung suatu bisnis seperti manajemen produksi, manajemen sumberdaya manusia, manajemen keuangan, manajemen pemasaran, dan seterusnya yang diterapkan di bidang pertanian dengan segala kekhususannya dan sebagai bidang usaha (Retno, 2017).

Menurut Mulidah (2012) agribisnis digambarkan dalam satu sistem yang terdiri dari tiga subsistem yaitu :

1.     Sub-sistem penyediaan sarana produksi dan peralatan pertanian

Sarana produksi pertanian terdiri dari benih, bibit, makanan, pupuk, ternak, bahan bakar dan lain – lain. Subsistem ini sangat penting karena perlunya keterpaduan dari banyak unsur guna mewujudkan agribisnis yang sukses.

2.     Sub-sistem usahatani

Usahatani dapat menghasilkan produksi pertanian antara lain yaitu bahan pangan, hasil perkebunan, hasil ternak, dan ikan. Pelaku subsistem ini yaitu produsen yang terdiri dari petani, peternak, pengusaha tambak, dan lain - lain.

3.     Sub-sistem pengolahan atau agroindustri dan pemasaran

Pada subsistem ini banyak kegiatan yang dilakukan seperti pengumpulan produk usaha tani, pengolahan, penyimpanan dan distribusi. Pelaku subsistem ini yaitu pengumpul produk, pengolah, pedagang, penyalur ke konsumen dan lain – lain.

 

b.     Ruang Lingkup Agroindustri

Agroindustri merupakan industri yang menghasilkan produk-produk yang komponen utamanya berasal dari hewan atau tanaman (Sukardi, 2011). Tidak hanya itu agroindustri juga merupakan Industri pengolahan hasil pertanian, industri input pertanian (pupuk, pestisida, dan lain lain) ,industri yang juga memproduksi peralatan pertanian, dan industri jasa pertanian. Jika dilihat dari sistem agribisnis maka agroindustri sebagai bagian atau sub sistem dari agribisnis. Agroindustri terbagi menjadi dua yakni industri hulu dan hilir. Industri  hulu merupakan  industri   yang   memproduksi   alat-alat dan mesin  pertanian  serta   industri  sarana  produksi  yang digunakan  dalam  proses  budi  daya  pertanian. Sedangkan industri hilir merupakan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi bahan baku atau barang yang siap dikonsumsi atau dapat disebut sebagai industri  pasca  panen  dan  pengolahan hasil pertanian (Nandika, 2017).

Ruang lingkup agroindustri dapat digolongkan menurut pengolahan bahan bakunya dan termasuk kedalam kategori agroindustri hilir yaitu:

1.        Teknologi pengolahan hasil nabati    

Teknologi pengolahan hasil nabati merupakan pengolahan bahan pangan dari tumbuhan untuk dijadikan olahan yang lebih bermanfaat. Contoh dari pengolahan hasil nabati adalah kripik ubi, sari buah, manisan buah, dan lain lain. 

2.       Teknologi pengolahan hasil hewani  

Teknologi pengolahan hasil hewani merupakan pengolahan bahan pangan dari hewan, baik hewan laut, hewan darat atupun hewan yang ada di udara. Contoh hasil pengolahan hewani adalah  pembuatan dendeng, pembuatan bakso, dan olahan makanan yang lain.

3.       Teknologi pengemasan dan penggudangan

Teknologi pengemasan dan penggudangan merupkan suatu bagian dari proses akhir guna untuk penyimpan atau pengawetan hasil olahan nabati atau hewani. Contoh alat pengemasan seperti kertas wax coklat, kardus, dan lain lain.

 

B.  Peranan Agroindustri dan Agribisnis dalam Perekonomian

Menurut Maulidah (2012) besar dan luasnya peranan agribisnis dalam perekonomian   nasional tidak terlepas dari fungsi agribisnis, beberapa fungsi agribisnis yaitu:

1.     Menghasilkan bahan mentah atau komoditas primer baik bahan pangan, serat, bangunan, atau bahan lainnya;

2.     Menghasilkan produk antara atau barang jadi baik pangan, bahan pembuat tekstil, bahan bangunan, obat-obatan, dan sebagainya;

3.     Menyerap tenaga kerja dari yang unskilled sampai yang skilled;

4.     Menyumbang pada pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi; dan

5.     Menghasilkan devisa negara melalui kegiatan ekpor maupun pariwisata.

 

Selain itu, menurut Maulidah (2012) dan Supriyati (2006) peran agribisnis maupun agroindustri dalam perekonomian adalah sebagai berikut:

1.     Memperluas Kesempatan Kerja dan Berusaha

Banyak melibatkan tenaga kerja karena sistem agribisnis menggunakan sumberdaya alam yang ada yang dapat diperbaharui serta lebih banyak tenaga kerja yang dilibatkan baik yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.

2.     Menciptakan Lapangan Pekerjaan,

khususnya dapat menarik tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri hasil pertanian (agroindustri);

3.     Menciptakan Nilai Tambah Hasil Pertanian di Dalam Negeri

Pengembangan agroindustri dapat menciptakan nilai tambah dari hasil pertanian hingga mampu menciptakan pasar berbagai produk pertanian dan produk olahannya

4.     Berperan Dalam Pelestarian Lingkungan

Kegiatan agribisnis yang berlandaskan pada pendayagunaan keanekaragaman ekosistem di seluruh tanah air memiliki potensi melestarikan lingkungan hidup.

5.     Meningkatkan Penerimaan Devisa melalui Peningkatan Ekspor Hasil Agroindustri;

selama ini selain ekspor migas, hanya agribisnis yang mampu memberikan net-ekspor secara konsisten. Peranan agribisnis dalam penyediaan bahan pangan. Ketersediaan berbagai ragam dan kualitas pangan dalam jumlah pada waktu dan tempat yang terjangkau masyarakat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pembangunan di Indonesia.

6.     Mewujudkan Pemerataan Pembangunan

pemerataan pembangunan sangat ditentukan oleh ‘teknologi’ yang digunakan dalam menghasilkan output nasional, yaitu apakah bias atau pro terhadap faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh rakyat banyak. Saat ini faktor produksi yang banyak dimiliki oleh sebagian besar rakyat adalah sumber daya lahan, flora dan fauna, serta sumber daya manusia. Untuk mewujudkan pemerataan di Indonesia perlu digunakan ‘teknologi’ produksi output nasional yang banyak menggunakan sumber daya tersebut, yaitu agribisnis.

7.     Mampu meningkatkan efisiensi sector pertanian

Agribisnis berperan dalam meningkatkan efisiensi sector pertanian hingga menjadi kegiatan yang sangat produktif melalui proses modernisasi pertanian.

8.     Penyediaan Bahan Pangan

Ketersediaan berbagai ragam dan kualitas pangan dalam jumlah pada waktu dan tempat yang terjangkau masyarakat merupakan prasyarat penting bagi keberhasilan pem-bangunan di Indonesia. Sejarah modern Indonesia menunjukkan bahwa krisis pangan secara langsung mempengaruhi kondisi sosial, politik, dan keamanan nasional

C.  Permasalahan Umum Pekerja dan Kendala Penerapan K3

a.   Kecelaaan Kerja

Tingkat pencapaian penerapan SMK3 di suatu perusahaan jasa konstruksi di Indonesia juga menjadi sorotan. Kurangnya perhatian dalam menerapkan SMK3, membuat penerapannya cenderung tidak mencapai 100% (Juliantina, et.al, 2013; Udiana, et.al, 2012; Kurniawan, 2015). Menurut PP No. 50 Tahun 2012, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.. Terutama di Indonesia masih sangat rendah untuk terlaksana secara baik. Tidak diherankan angka kecelakaan kerja masih sulit menurun. Berikut terdapat beberapa faktor yang utama penyebab kecelakaan kerja yaitu tenaga kerja tidak memakai alat pelindung diri (APD), terbatasnya dana K3, rendahnya prioritas K3 oleh manajemen perusahaan, kurangnya pengetahuan mengenai K3, lemahnya sanksi dari perusahaan, rendahnya budaya dan disiplin k3, kontraktor memaksakan bekerja hingga larut malam.

Tingkat pencapaian penerapan SMK3 di suatu perusahaan jasa konstruksi di Indonesia juga menjadi sorotan. Kurangnya perhatian dalam menerapkan SMK3, membuat penerapannya cenderung tidak mencapai 100% (Juliantina, et.al, 2013; Udiana, et.al, 2012; Kurniawan, 2015). 1Indonesia mengambarkan salah satu negara berkembang yang sedang mengelola pembangunan yang signifikan di bidang agroindustri. Keselamatan Kerja telah diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatn kerja dalam pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 ayat (3). Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur (Mangkunegara, 2002 dalam Kurniawan, 2015).111.

b.   Penyakit Akibat Kerja

Faktor keselamatan kerja menjadi sangat  penting karena terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya, pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan di Indonesia belum tercatat dengan baik. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh alat kerja bahan, pekerjaan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013)

Penyebab Penyakit Akibat Kerja Tedapat beberapa penyebab PAK yang umum terjadi di tempat kerja, berikut beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab dari penyakit yang ada di tempat kerja.

a)   Golongan fisik: bising, radiasi, suhu ekstrim, tekanan udara, vibrasi, penerangan Efek pencahayaan pada mata, kekuatan pencahayaan beraneka ragam, yaitu berkisar 2.000-100.000 lux di tempat terbuka sepanjang hari dan pada malam hari dengan pencahayaan buatan 50-500 lux.  Kelelahan pada mata ditandai oleh :

1.   Iritasi pada mata / conjunctiva

2.   Penglihatan ganda

3.   Sakit kepala

4.   Daya akomodasi dan konvergensi turun

5.   Ketajaman penglihatan

b)  Penyakit Silikosis dispengaruhi oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2 , yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudianmenumpuk. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda) dll. Selain dari itu, debu silika juga banyak terkandung di tempat penampang besi, timah putih dan tambang batu bara. Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkam debu silika bebas SiO2 .

c)   Penyakit asbestosis adalah penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh debu atau serat asbes yang mencemari udara. Asbes adalah campuran dari berbagai macam silikat, namun yang paling utama adalah magnesium silikat. Debu asbes banyak dijumpai pada pabrik dan industri yang menggunakan asbes, pabrik pemintalan serat asbes, pabrik beratap asbes dan lain sebagainya.

d)  Penyakit antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu batu bara. Penyakit ini biasanya ditemukan pada pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerja-pekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker), dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu: penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantrakosis, dan penyakit tuberkolosilkoantrakosis.

e)   Penyakit Beriliosis Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat menyebabkan penyakit saluran pernafasan yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis, dan pneumonitis yang ditandai dengan pertanda sedikit demam, batuk kering, dan sesak nafas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri yang menggunakan logam campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio, dan juga pada pekerja pengolahan bahan penunjang industri nuklir

f)   Penyakit Saluran Pernafasan (PAK) pada saluran pernafasan dapat bersifat akut maupun kronis. Akut misalnya asma akibat kerja. Sering didiagnosis sebagai tracheobronchitis akut atau karena virus kronis, misal: asbestosis. Seperti gejala Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau edema paru akut. Penyakit ini disebabkan oleh bahan kimia seperti nitrogen oksida.

g)  Penyakit Kulit pada umumnya tidak spesifik, menyusahkan, tidak mengancam kehidupan, dan akan sembuh sendiri. Dermatitis kontak yang dilaporkan, 90% merupakan penyakit kulit yang berhubungan dengan pekerjaan. Penting riwayat pekerjaan dalam mengidentifikasi iritan yang merupakan penyebab, membuat peka, atau karena faktor lain.

h)  Kerusakan Pendengaran banyak kasus gangguan pendengaran menonjol akibat pajanan kebisingan yang lama, ada beberapa kasus bukan karena pekerjaan. Riwayat pekerjaan secara detail sebaiknya didapatkan dari setiap orang dengan gangguan pendengaran. Dibuat rekomendasi tentang pencegahan terjadinya hilang pendengaran.

 

c.   Kendala Peneraan K3

Menurut Dr. F.A. Gunawan, dalam bukunya yang berjudul “Safety Leadership: Kepemimpinan Keselamatan Kerja”, memaparkan 8 hambatan pelaksanaan K3 di Indonesia, yaitu:

1.   Masih banyak pimpinan perusahaan yang hanya mengembangkan target produksi dan menyesuaikan biaya tanpa memperhitungkan besar kecilnya risiko yang timbul dari ketentuan yang diambil.  Pihak manajemen masih berpikir bahwa keselamatan kerja hanya menaikkan biaya dan menghambat produksi. Mereka belum melihat faktor biaya dari segi risiko keselamatan yang mungkin terjadi terhadap bisnis.

2.   Manajemen perusahaan memberikan prioritas rendah pada program K3 dalam program perusahaan. Hampir di banyak perusahaan yang ada, program K3 tidak pernah dibahas dalam rapat-rapat yang diselenggarakan perusahaan tersebut. perusahaan hanya terlalu fokus pada produksi perusahaan sedangkan program K3 tersebut sangat dibelakangkan. Jika sudah terjadi kecelakaan, barulah perusahaan akan mengingat mengenai K3 tersebut. Namun tetap perusahaan tidak memprioritaskan program K3 dalam pengoperasiannya. harus terjadi kecelakaan terlebih dahulu baru mereka mengendalikan segi keselamatan. Segi keselamatan akan diperkuat kembali apabila sudah terdapat korban terlebih dahulu. Kebiasaan tersebut menimbulkan tidak konsistennya pelaksanaan sistem manajemen keselamatan kerja apabila belum terjadi kecelakaan dengan korban jiwa. Apalagi saat terjadi kecelakaan inipun, banyak pihak yang mencari kambing hitam dan tidak memperbaiki sistem yang menjadi pokok permasalahan dari kejadian tersebut. Jadi tidak heran akan bermunculan korban lain dengan pola kecelakaan yang serupa.

3.   Masih banyak perusahaan yang hanya mengutamakan pencapaian kinerja jangka pendek, laba jangka pendek misalnya pada hal ini menyebabkan upaya keselamatan kerja yang seringkali tersingkirkan oleh tuntutan kinerja keuangan tersebut. Keadaan ini mengakibatkan lingkungan kerja yang rawan risiko keselamatan kerja.

4.   Masih rendahnya kesadaran sebagian besar tenaga kerja terhadap keselamatan kerja. Banyak tenaga kerja yang hanya patuh terhadap peraturan dan prosedur keselamatan apabila diawasi. Sedangkan pengawasan tidak mungkin dilakukan sepanjang waktu. Hal ini dapat memperburuk dengan pemikiran bahwa mereka akan tetap selamat ketika melakukan hal-hal berbau jalan pintas yang berisiko tinggi. Sebagimana nasib tidak sial maka akan tetap selamat.

5.   Keadaan ekonomi dan sosial  di Indonesia sering dijadikan alasan pelanggaran terhadap peraturan keselamatan. Misalnya, dengan alasan memberdayakan sumber daya lokal, maka pimpinan mengizinkan penggunaan tenaga kerja lokal yang tidak sesuai kompetensinya menjadi pekerja musiman tanpa memberikan pemahaman dan kemampuan di industri yang memiliki risiko tinggi.

6.   Terdapat kesenjangan antara kenyataan dalam era teknologi tinggi yang tercantum adanya bahaya dan Risiko dengan kesadaran dan cara pandang manusia terhadap risiko tersebut. Sehingga banyak pimpinan dan pekerja yang tidak sadar telah mengambil jalan pintas yang  berisiko tinggi dalam melaksanakan aktivitas pekerjaannya.

7.   Belum terbentuk perpaduan keselamatan kerja dalam kurikulum pendidikan yang terkait. Di negara maju seorang lulusan teknik kimia sudah dibekali dengan Ilmu mengidentifikasi, memahami dan mengendalikan bahaya yang ada dalam proses industrinya. Di Indonesia masih belum sepenuhnya diterapkan, sehingga para lulusan yang memiliki bidang berisiko tinggi masih banyak yang belum memiliki kesadaran akan bahaya dan risiko.

8.   Lemahnya Pemerintah dalam menerapkan peraturan keselamatan kerja. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah dan mutu dari Para ahli keselamatan kerja yang ada dipemerintah. Lemahnya penerapan diperburuk oleh sikap pembiaran yang dilandasi alasan ekonomi.

 

D.     Statistika K3 Agribisnis dan Agroindustri

a)   Pengertian

Statistik umumnya diartikan sebagai data. Para ahli mendefinisikan statistic menurut beberapa perspektif, diantaranya:

a.   UU RI No. 7 tahun 2006 mendefinisikan statistik sebagai keterangan berupa angka-angka yang memberikan gambaran wajar dari seluruh ciri-ciri kegiatan dan keadaan masyarakat Indonesia

b.   Statistika merupakan sebuah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan fakta, pengolahan, serta pembuatan keputusan yang cukup beralasan berdasarkan fakta dan analisa yang dilakukan (Sudjana, 2004)

Kecelakaan kerja juga memiliki beberapa pengertian menurut paa ahli, yaitu:

a.   WHO mendefinikan kecelakaan kerja sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan sebelumnya sehingga menghasilkan cidera yang nyata

b.   Permenaker No.3/Men/1998 menyebutkan bahwa kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa statistik kecelakaan kerja merupakan suatu ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasikan dan mempresentasikan data yang mencakup peristiwa yang merugikan pekerja serta merusak harta benda ataupun proses pekerjaan. Statistik kecelakaan kerja merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan keselamatan kerja perusahaan dalam bentuk penilaian kinerja K3. Adanya statistik kecelakaan dari tahun ke tahun dapat bermanfaat untuk melihat tren kejadian kecelakaan serta perhitungan statistik kecelakaan

b)  Manfaat

Manfaat statistic dalam penerapan K3 yaitu digunakan untuk menilai OHS Performance Programs. Statistik dapat memberikan masukan bagi manajemen mengenai tingkat kecelakaan kerja serta berbagai faktor yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah menurunnya kinerja K3.

Statistic secara nyata dapat digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan penyebab dari timbulnya kecelakaan kerja, mengetahui peningkatan atau berbagai hal yang memperburuk kinerja K3, membandingkan kinerja antara tempat kerja dan industry yang serupa, memberikan informasi mengenai prioritas pengalokasian dana K3, serta memonitor kinerja organisasi

1.           Incident Rate

Incident rate adalah angka yang menunjukkan kecelakaan kerja dari seribu tenaga kerja.

Incident rate tergolong tinggi bila perusahaan dengan jumlah pekerja 1–10 dengan IR > 2,1, perusahaan dengan jumlah pekerja 11–49 dengan IR > 1,2, perusahaan dengan jumlah pekerja 50–249 dengan IR > 2,7, dan perusahaan dengan jumlah pekerja 250–999 dengan IR > 1,1

2.     Frequency Rate

Frequency rate adalah angka yang menunjukkan jumlah kejadian kecelakaan kerja per satu juta jam kerja orang. Frequency rate menujukkan tingkat bahaya tempat kerja. Tingkat bahaya tergolong tinggi jika FR ≥ 10, sedang jika 5 < FR < 10, rendah jika FR £ 5

3.   Severity Rate

Severity rate adalah angka yang menunjukkan total hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja per satu juta jam kerja orang. Tingkat keparahan merupakan ukuran dengan cutting point 0, jadi perusahaan seharusnya tidak kehilangan hari kerja produktif akibat kecelakaan kerja

4.   Safe-T Score

Safe T-Score digunakan untuk membandingkan tingkat kecelakaan tahun sekarang dengan tahun sebelumnya. -2.00 < Safe-T Score < +2.00, artinya tidak ada perbedaan, Safe-T Score ≥ +2.00 menunjukan menurunnya performance K3, Safe-T Score £ -2.00 menunjukan membaiknya performance K3, atau ada sesuatu yang baik dan perlu dipertahankan.

 

a.   Statistika K3 Agribisnis

Statistik K3 di bidang agribisnis, kelompok kami mengambil contoh di PT. Surya Intisari Raya (SIR) Sei. Luku yang terdapat di Kabupaten Siak dan Kota Pekanbaru. PT. Surya Intisari Raya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit dan pengolahan tandan buah sawit (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Karnel (PK) yang berada di naungan induk perusahaan First Resources Group.

Jumlah karyawan di PT. Surya Intisari Raya (SIR) Kebun Sei Lukut pada bagian pemanenan tandan buah sawit berubah-ubah pada tahun 2013 samoa 2015. Perubahan jumlah karyawan tersebut disebabkan oleh adanya karyawan baru yang masuk ataupun karyawan lama yang mengundurkan diri atau dipecat. Pada tahun 2013 PT. Surya Intisari Raya (SIR) Sei. Luku mempekerjakan 228 karyawan, sedangkan pada tahun 2014 mempekerjakan 212 karyawan dan pada tahun 2015 mempekerjakan 234 karyawan yang bekerja dibagian pemanenan tandan buah sawit. Jam kerja karyawan yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut yaitu 7 jam per hari. Maka hari kerja rata-rata karyawan pemanen tandan buah sawit dalam sebulan yaitu 25 hari dan 2100 jam kerja dalam setahun.

1.   Kecelakaan kerja

Kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan pemanenan tandan buah sawit disebabkan oleh beberapa jenis kecelakaan, yaitu :

-      Tertimpa pelepah atau buah sawit

-      Dijatuhi berondolan sawit, serbuk bunga sawit atau sampah lainnya

-      Tertusuk duri sawit

-      Tersandung, terpleset atau terjatuh

-      Terluka atau cidera karena alat kerja

Data kecelakaan yang terjadi antara tahun 2013 sampai 2015 terdapat 955 kecelakaan dengan 272 kasus kecelakaan pada tahun 2013, 372 kasus kecelakaan pada tahun 2014 dan 311 kasus kecelakaan kerja pada tahun 2015.

2.   Hari kerja yang hilang

Dari banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi pada tahun 2013 sampai 2015 menimbulkan banyaknya hari kerja yang hilang. Jumlah hari kerja yang hilang pada tahun 2013 hingga 2015 yaitu 1434 hari dengan 426 hari pada tahun 2013, 568 hari pada tahun 2014 dan 440 hari pada tahun 2015.

3.   Frequency rate

a.       Frequency rate tahun 2013

Diketahui :

Jumlah kecelakaan tahun 2013                                   : 272 kasus

Jumlah karyawan tahun 2013                         : 228 karyawan

Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2013                 : 426 hari

 

Jumlah jam orang kerja tahun 2013   = (jumlah karyawan tahun 2013 x jumlah jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2013 x jam kerja perorang perhari)

                                                            = (228 x 2.100) – (426 x 7)

                                                            = 478.800 – 2.982

                                                            = 475.818 jam

FR       =

          =

          = 114,33 » 115 orang

jadi, terdapat 115 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2013

b.       Frequency rate tahun 2014

Diketahui :

Jumlah kecelakaan tahun 2014                                   : 372 kasus

Jumlah karyawan tahun 2014                                     : 212 karyawan

Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2014                 : 568 hari

 

Jumlah jam orang kerja tahun 2014   = (jumlah karyawan tahun 2014 x jumlah jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2014 x jam kerja perorang perhari)

                                                            = (212 x 2.100) – (568 x 7)

                                                            = 445.200 – 3.976

                                                            = 441.224 jam

FR       =

        =

        = 168,62 » 169 orang

Jadi, terdapat 169 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2014

c.       Frequency rate tahun 2015

Diketahui :

Jumlah kecelakaan tahun 2015                                   : 311 kasus

Jumlah karyawan tahun 2015                                     : 234 karyawan

Jumlah hari kerja yang hilang tahun 2015                 : 440 hari

 

Jumlah jam orang kerja tahun 2015   = (jumlah karyawan tahun 2015 x jumlah jam kerja pertahun) – (jumlah hari hilang tahun 2015 x jam kerja perorang perhari)

                                                            = (234 x 2.100) – (440 x 7)

                                                            = 491.400 – 3.080

                                                            = 488.320 jam

FR       =

            =

            = 127,38 » 128 orang

Jadi, terdapat 128 orang mengalami kecelakaan kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2015

4.   Severity rate

a.       Severity rate tahun 2013

Diketahui :

Jumlah hari hilang tahun 2013                       : 426 hari

Jumlah jam orang kerja tahun 2013               : 475.818 hari

SR      =

            =

            = 179,06 » 180 hari

Jadi perusahaan kehilangan 180 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2013

b.       Severity rate tahun 2014

Diketahui :

Jumlah hari hilang tahun 2014                       : 568 hari

Jumlah jam orang kerja tahun 2014               : 441.224 hari

SR      =

            =

            = 257,47 » 258 hari

Jadi perusahaan kehilangan 258 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2014

c.       Severity rate tahun 2015

Diketahui :

Jumlah hari hilang tahun 2015                       : 440 hari

Jumlah jam orang kerja tahun 2015   : 488.320 hari

SR      =

            =

            = 180,21 » 181 hari

Jadi perusahaan kehilangan 181 hari kerja setiap 200.000 jam pada tahun 2015

     Hasil perhitungan statistik kecelakaan diatas, angka Frequency Rate dan Severity Rate tergolong tinggi dan cenderung mengaami kenaikan. Dari perhitungan tersebut dapat dikatakan juga bahwa pihak manajemen keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan gagal dalam meminimalisir angka kecelakaan kerja.

 

b.   Statistika K3 dibidang Agroindustri

Jurnal              : KINERJA PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DI PERUSAHAAN PLYWOOD TAHUN 2012–2016

Penulis            : Nikita Ayu Dwijayanti

Diterima          : 11 Agustus 2017

Diterbitkan      : 19 Januari 2018

Volume           : 7

Abstrak           :

PT. Kutai Timber Indonesia (KTI) merupakan perusahaaan di bidang perkayuan. Kecelakaan kerja sering terjadi di PT. KTI. Kecelakaan kerja wajib dilaporkan dan dicatat sebagai bentuk monitoring terhadap performa kinerja K3 di suatu perusahaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai kinerja K3 di PT. Kutai Timber Indonesia pada tahun 2012–2016 menggunakan statistik kecelakaan kerja.

Penelitian ini bersifat deskriptif yakni menggambarkan statistik kecelakaan kerja dan pelaksanaan program kerja K3 di PT KTI. Statistik kecelakaan kerja meliputi incident rate, frequency rate, severity rate dan safe T-score. Pengumpulan data menggunakan data sekunder, lembar observasi dan wawancara.

 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi 303 kejadian kecelakaan kerja selama tahun 2012–2016. Hasil perhitungan statistik kecelakaan kerja didapatkan nilai incident rate dan frequency rate tertinggi terjadi pada tahun 2012, sedangkan, severity rate tertinggi terjadi pada tahun 2012, 2015 dan 2016. Berdasarkan perhitungan Safe T-Score, kinerja K3 hanya mengalami peningkatan pada tahun 2015. Hasil ini dipengaruhi oleh program kerja yang tidak banyak mengalami perubahan mulai tahun 2012 hingga tahun 2016. Dari 11 program kerja, terdapat 3 program kerja yang pemenuhan kriterianya di bawah 50%, yakni bus karyawan, penyusunan dan pelaksanaan JSA dan pelaksanaan K3.

1)  Kecelakaan kerja

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa selama tahun 2012 hingga 2016 telah terjadi 303 kejadian kecelakaan kerja di PT. Kutai Timber Indonesia. Angka kejadian kecelakaan tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebanyak 84 kejadian kecelakaan, sedangkan angka kecelakaan terendah terjadi pada tahun 2015 sebanyak 42 kejadian.

c)     Incident Rate

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa incident rate kecelakaan kerja PT. Kutai Timber Indonesia pada tahun 2012 hingga 2016 tergolong tinggi, karena melebihi standar yakni IR > 1,1. Incident rate pada periode 2012–2016 cenderung menurun, kecuali pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 1,9. Tahun 2012 menghasilkan incident rate tertinggi, yakni sebesar 22,1 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 22 kecelakaan kerja. Tahun 2013 menghasilkan incident rate sebesar 17,6 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 18 kecelakaan kerja. Tahun 2014 menghasilkan incident rate sebesar 15 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 15 kecelakaan kerja. Selanjutnya tahun 2015 menghasilkan incident rate sebesar 10,6 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 11 kecelakaan kerja. Terakhir pada tahun 2016 menghasilkan incident rate sebesar 12,5 yang berarti dari 1.000 pekerja terjadi 12 kecelakaan kerja.

2)      Frequency Rate

Pada tahun 2012, PT. Kutai Timber Indonesia tergolong perusahaan dengan tingkat bahaya tinggi karena FR ≥ 10. Nilai kekerapan kejadian Kecelakaan kerja pada tahun 2012 sebesar 10,6 yang bermakna terjadi 11 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3801 orang pekerja. Pada tahun 2012 hingga 2016 terjadi penurunan frequency rate dengan 5 < FR < 10, sehingga PT. Kutai Timber Indonesia tergolong perusahaan dengan tingkat bahaya sedang. Tahun 2013 memiliki frequency rate sebesar 8,44 yang bermakna terjadi 9 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3859 orang pekerja. Tahun 2014 memiliki nilai kekerapan sebesar 7,18yang bermakna terjadi 8 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3938 orang pekerja. Selanjutnya tahun 2015 memiliki frequency rate sebesar 5,08yang bermakna terjadi 6 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3964 orang pekerja. Pada tahun 2016 nilai kekerapan mengalami peningkatan menjadi 5,98 yang bermakna terjadi 6 kecelakaan kerja pada setiap 1.000.000 jam kerja pada total 4001 orang pekerja.

3)      Severity Rate

Tahun 2012 menghasilkan severity rate sebesar 869,75 yang bermakna terjadi 870 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3801 orang pekerja. Pada tahun 2013 severity rate mengalami penurunan, yakni sebesar 339 yang bermakna terjadi 339 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3859 orang pekerja. Tahun 2014 nilai keparahan mengalami penurunan yang cukup signifikan, yakni 32,6 yang bermakna terjadi 33 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3938 orang pekerja. Tahun 2015 severity rate mengalami peningkatan yang sangat tinggi, yakni sebesar 780,15 yang bermakna terjadi 781 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 3964 orang pekerja. Tahun 2016 nilai kekerapan sebesar 770,2 yang bermakna terjadi 771 hari kerja yang hilang akibat kecelakaan kerja setiap 1.000.000 jam kerja pada total 4001 orang pekerja.

4)      Safe-T Score

Pada tahun 2013 dan 2014 tidak terjadi perubahan berarti baik peningkatan maupun penurunan dalam pelaksanaan upaya pencegahan kecelakaan kerja, hal ini dibuktikan oleh nilai Safe T-Score pada tahun 2013 dan 2014 berada dalam interval -2 hingga +2. Pada tahun 2015 nilai perhitungan Safe T-Score menunjukkan angka -2,25 yang bermakna program K3 pada tahun 2015 mengalami perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 nilai Safe T-Score menjadi 1,15 yang bermakna program pengendalian kecelakaan kerja tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan tahun sebelumnya

5)      Kesimpulan

Kinerja K3 di PT. Kutai Timber Indonesia cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti. Peningkatan kinerja K3 PT. Kutai Timber Indonesia hanya terjadi pada tahun 2015. Hasil ini menunjukkan bahwa program pengendalian kecelakaan kerja di PT. Kutai timber Indonesia tidak mengalami banyak perubahan.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

DINATA, Y. (2017). USULAN PERBAIKAN SISTEM KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN METODE ECFA DAN SCAT DI PT. SURYA INTISARI RAYA (SIR) SEI. LUKUT (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2008). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat Kerja bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan

Dharmayanti, G. C., Pramana, G. S., & Diputra, G. A. (2018). Kendala Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) pada Kontraktor di Bali. Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana. Bandung. Volume 15 No. 1 Oktober 2018 12, 18.1Kuswana, Wowo Sunaryo. 2014. Ergonomidan K3. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Dwijayanti, N. A., 2018. KINERJA PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DI PERUSAHAAN PLYWOOD TAHUN 2012–2016. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 7(10.20473/ijosh), pp. 102-111.

Elizabeth 2010. Pengembangan Agroindustri Bahan Pangan untuk Peningkatan Nilai Tambah melalui Transformasi Kelembagaan di Pedesaan. Iptek Tanaman Pangan. 5(10): 102-112

Nandika, P. (2017). PERAN AGROINDUSTRI HULU DAN HILIR DALAM PEREKONOMIAN DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI INDONESIA. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 14 (No. 2), 127-137.

Gunawan, F.A. 2013. “Safety Leadership: Kepemimpinan Keselamatan Kerja. Jakarta: Dian Rakyat.

Juliantina, I. dan Nujhani, J. (2013). “Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3) pada Proyek Persiapan Lahan Pusri IIB PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang”, Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan, Universitas Sriwijaya. Vol. 1, No. 1, 80-8511 11

Kurniawan, Y. (2015). “Tingkat Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3) Pada Proyek Konstruksi (Studi Kasus: Kota Semarang)”. Jurnal Scaffolding, Vol. 4, No. 1, 98 – 103.

Retno, D. (2017). EKONOMIKA AGRIBISNIS (Teori dan Kasus). Makassar.

Riduwan dan Sunarto. 2007. Pengantar Statistika. Bandung: Alvabeta

Sukardi. (2011). Formulasi Definisi Agroindustri dengan Pendekatan. PANGAN, Vol. 20( No. 3), 269-282.

Silalahi, B., Rumondang., 1995. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Supriyati. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 24(2): 92 – 106

Maulidah. 2012. Sistem Agribisnis. Lab of Agribusiness Analysis and Management. Malang: Universitas Brawijaya

 

 

Komentar