Gizi Masyarakat Kekurangan Energi Protein (Berita/Artikel)

 





ANALISIS BERITA TENTANG KEP (Kurang Energi Protein)

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Gizi Masyarakat D Tahun Ajaran 2020)

 

Dosen Pengampu : Nur Fitri Widya Astuti, S.Gz.,M.PH.

 

 

Oleh : Kelompok 1

Arifah Hikmatul Maula                                              172110101185

Tiara Nabilah                                                              182110101064

Wahyu Qurrotania Ayuning Karomatul Iklam          182110101079

Saskia Dwi Amalia                                                     182110101136

Safira Sahida Dini                                                      182110101148

Yustika Isbanatul Mukarromah                                  182110101151

 

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

2020

 

Judul Berita                             : Berita 1 Lipsus - Gizi buruk dan Stunting yang terus melanda

  Berita 2 Kemenkes: Kekurangan Gizi di NTT Tertinggi

Link Berita                              : https://kupang.antaranews.com/berita/6366/lipsus--gizi-buruk-dan-stunting-yang-terus-melanda

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/29/oiy4yf335-kemenkes-kekurangan-gizi-di-ntt-tertinggi

Tanggal Publikasi Berita         : Sabtu, 31 Maret 2018 12:56 WIB

                                                  Kamis 29 Desember 2016 19:20 WIB

Tanggal Kejadian                    : Sabtu, 31 Maret 2018

                                                  Kamis 29 Desember 2016

Analisis Berita                         : Kekurangan gizi atau sering kita sebut dengan stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang sudah sering terjadi pada anak. Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi tertinggi angka kekurangan gizi pada anak. Banyak ibu hamil di daerah tertentu yang mengalami kekurangan energi kronis. Hal tersebut berdampak pada asupan gizi pada anak-anaknya. Kecukupan gizi bagi anak-anak penting untuk menciptakan generasi yang berkualitas. Angka kekurangan gizi di sejumlah daerah di Indonesia masih tergolong tinggi. Bahkan, angkanya melebihi yang ditetapkan WHO, yakni 10 persen. Dalam catatan medis Dinas Kesehatan NTT tahun 2016, tercatat sebanyak 2.891 dari sekitar 437.730 kasus gizi buruk yang melanda anak-anak balita di wilayah provinsi kepulauan ini yang mengakibatkan mereka mengalami kekerdilan (stunting).

Penyebab

1)     Faktor budaya

Budaya makan juga berpengaruh pada kejadian KEP. Budaya makan yang mendahulukan laki-laki akan mengganggu asupan gizi bagi ibu dan anak-anak. Adanya pengutamaan pembagian makan dalam keluarga menyebabkan tingkat konsumsi energi menjadi rendah (Marut, 2007)

2)     Faktor ekonomi

Faktor ekonomi adalah suatu penentu status gizi yang yang berdampak terhadap status gizi anak. Status ekonomi yang rendah atau kemiskinan merupakan posisi pertama pada masyarakat yang menyebabkan gizi kurang (Sebataraja, Oenzil, & Asterina, 2014). Kemiskinan yang dialami dapat membuat masyarakat kekurangan akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan, perlindungan terhadap keluarrga serta akses pelayanan kesehatan.

3)     Faktor lingkungan

Faktor lingkungan dari tingginya masalah gizi di NTT salah satunya adalah kualitas sumber air minum yang kurang baik. Sumber air minum yang diambil dari sungai atau kali yang tidak tertutup lebih mudah untuk terpapar kotoran dan bakteri, sehingga akan meningkatkan risiko terhadap gizi buruk dan gizi kurang 7 kali lebih besar dibandingkan dengan mengkonsumsi air dari sumber yang terlindung.

4)     Faktor pengetahuan

Pengetahuan menjadi satu aspek yang penting dalam pemenuhan status gizi. Pengetahuan ibu sangatlah penting dalam menentukan pola konsumsi makanan yang akan berpengaruh pada kondisi anak balita (Ariesthi, 2018). Pengetahuan ibu di Nusa Tenggara Timur yang tidak terlalu memperdulikan tentang apa yang dikonsumsinya akan berdampak pada status gizi anak..

5)     Faktor kebijakan

Dalam berita tersebut dinas kesehatan sudah mencegah dengan melakukan penyuluhan secara maksimal kepada ibu hamil agar dapat asupan gizi yang seimbang sehingga petumbuhan janin berlangsung baik dan maksimal, sudah mendorong masyarakat untuk asupan gizi pada petugas kesehatan dan mendukung program makan ikan yang cukup bagi masyarakat

Solusi

1)     Penghapusan budaya mendahulukan makan bagi kaum laki-laki bisa menjadi solusi dari masalah ini, karena sejatinya setiap anggota keluarga memiliki hak yang sama dalam memperoleh makanan yang sehat dan bergizi seimbang.

2)     Meningkatkan pengetahuan keluarga terutama pada ibu terhadap pentingnya makanan dan minuman yang bergizi, memberikan pemahaman terkait kandungan gizi yang baik bisa di dapatkan dari bahan dengan harga ekonomis dan pemberian makanan tambahan (PMT) oleh pemerintah atau tenaga kesehatan di wilayah tersebut serta bekerjasama dengan sektor lainnya.

3)     Solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan pengadaan sumber air minum bersih, mengadakan penyuluhan tentang cara pengolahan air yang baik dan benar sehingga air menjadi aman untuk diminum.

4)     Peningkatan pengetahuan kesehatan terutama pola konsumsi makanan untuk ibu dan anak di NTT. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan program pengabdian masyarakat secara langsung di daerah NTT yang tinggi angka balita KEP dengan menjalin kemitraan dengan tokoh masyarakat yang ada seperti kepala suku dan tokoh agama.

5)     Perlu adanya kesadaran dari masyarakat agar tidak lalai dalam pemberian asi selama enam bulan dan makanan pendamping untuk menjaga 1000 hari pascakelahiran anak tanpa memperhatikan budaya yang ada didaerah tersebut agar anak tersebut tidak kekurangan energi protein dan stunting.

 

 

LAMPIRAN BERITA

 

BERITA 1

 

Lipsus - Gizi buruk dan Stunting yang terus melanda


Sabtu, 31 Maret 2018 12:56 WIB

NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting). (ANTARA Foto/dok)

“Menurut standar WHO, bayi yang terlahir kurang dari 45 cm untuk perempuan dan kurang dari 48 cm untuk laki-laki tergolong stunting.”

Kupang (AntaraNews NTT) - Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan.(stunting)

Gagalnya pertumbuhan anak dapat dilihat dari status gizinya, terutama pada saat melahirkan. Menurut Kementerian Kesehatan, berat badan bayi baru lahir yang normal adalah 2.500 s.d. 4.000 gram.

Seorang bayi dikatakan memiliki berat badan lahir rendah jika beratnya kurang dari 2.500 gram, dan memiliki kecenderungan untuk menjadi stunting. Mengapa? Karena status gizi ibu yang buruk sebelum dan selama proses kehamilan berlangsung.

Di sisi lain, selama 6 bulan pertama kehidupannya, bayi tersebut tidak mendapat ASI eksklusif dari ibunya, padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat untuk kekebalan tubuh dan perlindungan pada system pencernaan.

Selain itu , sang bayi juga mengalami kekurangan asupan energi dan protein yang memadai serta tidak memberikan imunisasi sehingga menghambar pertumbuhannya.

Imunisasi dapat menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi yang dapat melawan agen infeksi atau menyediakan perlindungan sementara melalui pemberian antibody. Pemberian imunisasi pada anak bertujuan mengurangi resiko terinfeksi dan mencegah kematisn pada anak.


Status imunisasi anak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Pasalnya, ketika anak terkena penyakit, akan terjadi perubahan dalam asupan zat gizi, seperti muntah, tidak nafsu makan, dan terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi.

 NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting). (ANTARA Foto/dok)

Ketika kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, akan terjadi gagal tumbuh yang mengakibatkan stunting," kata Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur dr Cornelius Kodi Mete yang mengakui pula bahwa kasus gizi buruk dan stunting masih terus melanda wilayah NTT.

Dalam catatan medis Dinas Kesehatan NTT tahun 2016, tercatat sebanyak 2.891 dari sekitar 437.730 kasus gizi yang melanda anak-anak balita diwilayah provinsi kepulauan ini yang mengakibatkan mereka mengalami kekerdilan (stunting).

Masalah stunting merupakan masalah gizi masa lalu yang terus mejadi perhatian serius pemerintahan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. "Kami terus giat mengampanyekan agar pola asupan gizi masyarakat selalu diperbaiki dari waktu ke waktu untuk mengurangi angka gizi buruk di NTT," katanya.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya juga mengklaim bahwa angka gizi buruk di wilayah pemerintahannya terus mengalami penurunan sekitar 8,02 persen dari angka gizi buruk pada tahun 2016 yang mencapai 2.891 kasus.

Kondisi gizi buruk di NTT pada tahun 2013 telah menimpah sebanyak 6.733 balita yang menyebar di 22 kabupaten dan kota. Jumlah tersebut menurun drastic pada tahun 2014 menjadi 3.351 balita, kemudian pada tahun 2015 sebanyak 3.340 balita, lalu pada tahun 2016 sebanyak 3.072 balita.

Menurut Gubernur Frans Lebu Raya, kondisi gizi buruk berkaitan dengan permasalahan kesehatan, di samping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperberat penyakit infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan tradinya gangguan kesehatan secara individual.


Langkah-langkah pencegahan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, antara lain, melakukan penyuluhan secara maksimal kepada ibu hamil agar mendapat asupan gizi yang cukup sehingga pertumbuhan janin dalam kandungannya juga berlangsung baik dan maksimal.

Penderita gizi buruk di NTT

Setelah bayi dilahirkan, diberikan pula ASI eksklusif selama 6 bulan, plus makanan tambahan lainnya pada usia 6 bulan keatas, serta rajin membawa anak-anaknya keposyandu.

Cornelius Kodi Mete mengatakan bahwa angka gizi buruk di NTT saat ini terus berkurang daripada dengan 2 hingga 3 tahun yang lalu. Hal ini karena langsung dilakukan intervensi dengan berbagai asupan gizi oleh petugas kesehatan.

Sebagai Kepala Dinas Kesehatan, Kodi Mete harus mendorong penguatan asupan gizi ntuk masyarakat serta program gemar makan ikan, karena memiliki manfaat yang sangat baik bagi tumbuh kembang dan kesehatan ibu dan anak-anak.

Instansi yang dipimpinnya akan terus mengampanyekan gemar makan ikan karena kandungan gizi berupa protein yang bagus mereduksi peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular, seperti kasus gizi buruk tersebut.

Ia juga mengharapkan pemerintah kabupaten dan kota se-NTT turut mendukung program makan ikan tersebut, antara lain, dengan memastikan kesediaan ikan yang cukup bagi masyarkatnya.

Di laut kita memang banyak ikan. Akan tetapi, butuh banyak pula keahlian masyarakat untuk menangkapnya sehingga sektor lainnya juga ikut menggiatkannya. Dengan demikian, betul-betul pasokan ikan dapat tercukupi untuk memenuhi masyarakat kita,” ujarnya.

Kegagalan pertumbuhan


Penderita Gizi Buruk

Gagalnya pertumbuhan pada anak (stunting) dapat disebabkan oleh banyak faktor. Bila dilihat dari status gizi, stunting merupakan indeks perbandingan antara tinggi badan dan usia seseorang sehingga stunting bias disebabkan karena asupan makanan yang kurang bergizi.

Tingkat pertumbuhan anak usia 1 sampai dengan 3 tahun dan 7 sampai dengan 10 tahun tampaknya jauh lebih cepat sehingga mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Pasalnya, usia dan tahap perkembangan anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi.

Berat badan lahir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), berkisar antara 2.500 dan 4000 gram. Berat badan lahir rendah bias disebabkan karena lahir premature (kehamilan sebelum 37 minggu) atau gangguan pertumbuhan intrauterine atau ombinasi dari kedua faktor tersebut.

Stunting berawal dari pertumbuhan jain yang tidak memadai dari seorang ibu yang urang gizi. Bahkan, sekitar dari setengah kegagaln pertumbuhan itu dimulai dirahim.


Bayi yang lahir dengan keadaan berat badan lahir rendah sangat berisiko tinggi pada morbiditas (meratanya penyakit), kematian, infeksi, kekurangan berat badan, stunting di awal periode neonatus sampai masa kanak-kanak.

 NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang cukup terkenal dengan kasus gizi buruknya, bahkan saban tahun, kasus ini seakan terus melanda anak-anak balita yang membawa dampak pada kegagalan pertumbuhan (stunting). (ANTARA Foto/dok)

Bayi dengan berat lahir rendah ini dapat dikaitkan dengan gangguan fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif yang buruk,dan beresiko terjadinya diare akut atau pneumonia.

Atas dasar itulh, Badan Kesehatan Dunua (WHO) menganjurkan untuk mengonsumsi ASI eksklusif karena bentuk makanan yang ideal untuk memenuhi gizi anak selama 6 bulan pertama kehidupan, serta pendidikan orangtua dalam mengasuh pertumbuhan anaknya.

Menurut standar WHO, bayi yang terlahir dari 45 cm untuk perempuan dan kurang dri 48 cm untuk laki-laki tergolong stunting. Jika tidak diatasi selama 2 tahun pertama, akan memunculkan persoalan lain, seperti rentan terhadap berbagai penyakit.

Disinilah tampaknya peran pemerintah menjadi sangat sentral dalam mengatasi masalah stunting dan gizi buruk terus dating melanda Nusa Tenggara Timur dari tahunke tahun.

Pewarta            : Lurensius Molan

Editor               : Lurensius Molan

COPYRIGHT © ANTARA 2020


 

BERITA 2

Kemenkes: Kekurangan Gizi di NTT Tertinggi

Kamis 29 Dec 2016 19:20 WIB

Rep: umi nur fadhilah/ Red: Esthi Maharani

menteri-kesehatan-nila-f-moeloek-tengah-memasuki-ruangan-_160725190724-600

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (tengah) (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemkes) menyebut Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi tertinggi angka kekurangan gizi pada anak. Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek mengatakan, pihaknya berupaya memberikan makanan tambahan pada ibu hamil. Sebab, ia mengatakan, berdasarkan hasil pemetaan, banyak ibu hamil di daerah tertentu yang mengalami kekurangan energi kronis. Hal tersebut berdampak pada asupan gizi pada anak-anaknya.

"NTT paling buruk dibandingkan negara lain. Kalau NTT dengan 25,4 persen masih tinggi," kata dia dikantor Kemkes, Jakarta, Kamis (29/12). Nila menyebut, rerata angka kekurangan gizi di Indonesia sebesar 18 persen. Padahal, angka yang diminta oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 10 persen.

Nila menuturkan kecukupan gizi bagi anak-anak penting untuk menciptakan generasi yang berkualitas. Namun, ia melanjutkan, angka kekurangan gizi di sejumlah daerah di Indonesia masih tergolong tinggi. Bahkan angkanya melebihi batas yang ditentukan oleh WHO "Kalau pemataan, di perbatasan NTT termasuk yang angkanya jelek untuk nutrisi gizinya. Jadi presiden meminta ke kita PMT (Pemberian Makan Tambahan),”tutur dia.

Menurut Nila, pemberian PMT bagi anak harus diikuti asupan makanan bergizi yang sudah diketahui masyarakat setempat. Salah satunya, yakni, pemberian ASI selama enam bulan dan makanan pendamping protein. Ia meminta para ibu harus menjaga 1000 hari pascakelahiran anak.

Menurut Nila, terdapat budaya di daerah tertentu yang membuat seorang ibu tidak bisa memberikan ASI berkualitas. Kendati demikian, ia mengatakan seorang ibu harus paham bagaimana memberi makan dan mendidik anak-anaknya.

"Status perempuan yang harus diangkat. Pengaruh budaya begitu kuatnya di NTT, perempuan tak berdaya. Angka dari nusantara sehat, hampir 70 persen ibu tidak memberikan ASI. Ini nggak benar," tutur Nila.

Komentar