MAKALAH TEKNOLOGI INFORMASI KESEHATAN
UU ITE REVISI
Di susun oleh:
1.
Aziza
Zahrotul A. (182110101042)
2.
Achmad
Ababil (182110101072)
3.
Yossy
Adhis R. (1821101010106)
4.
Safira
Sahida D. (182110101148)
DOSEN:
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disingkat UU ITE merupakan
Undang-Undang (UU) yang didalamnya mengatur segala hal tentang teknologi
informasi yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai dirancang pada tahun 2003
oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang saat itu dijabat
oleh Syamsul Mu’arif. Kemudian UU ITE
terus digodog hingga akhirnya lahirlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diresmikan secara
langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panjang sekali perjalanan UU
ITE hingga akhirnya dapat bergulir sebagai konstitusi yang mengatur arus
internet yang ada di Indonesia ini.
Awal mula dirumuskan
undang-undang ini adalah demi menjaga stabilitas arus internet Indonesia dari
hal-hal yang dapat merusak serta melindungi hak-hak para pengguna Internet.
Namun dalam berbagai kajian yang membahas UU ITE secara mendalam, telah
ditemukan beberapa kejanggalan yang ada dalam UU ITE serta dirasa perlu
dilakukan sebuah revisi. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas
dari UU ITE yang banyak dipertanyakan oleh para ahli. Sehingga akhirnya
terjadilah revisi UU ITE pada bulan oktober 2016 dengan terdapat setidaknya 4
hal yang berubah. Namun dari revisi tersebut pun dirasa para ahli masih belum
dapat menjaga stabilitas internet Indonesia serta perlu diadakan kajian lebih
lanjut. Oleh karena itu sebagai rakyat Indonesia hendaknya ikut aktif mengawal
jalannya konstitusi yang ada ini sehingga tidak terjadi yang namanya
kesewenang-wenangan dari para pemangku jabatan.
1.1 Perumusan
Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
a)
Apa yang dimaksud dengan UU ITE
b)
Bagaimanakah sejarah ternemtuknya UU ITE
c)
Bagaimanakah UU ITE dapat berjalan di Negara Indonesia
d)
Analisa dampak UU ITE terhadap arus cyber di Indonesia
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas,
maka tujuan dari penilitian ini adalah :
a)
Mengetahui UU ITE secara komperhensif
b)
Mengetahui berjalannya UU ITE di Indonesia
c)
Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh UU ITE terhadap internet
di Indonesia
1.3 Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini
adalah :
a)
Menambah wawasan akan konstitusi yang ada di Indonesia
b)
Mengetahui sikap yang harus diambil dalam menghadapi UU ITE
c)
Mengawal pemerintahan dalam menjalankan konstitusi yang ada
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah UU ITE
UU ITE mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian
Negara komunikasi dan informasi (Kominfo), pada mulanya RUU ITE diberi nama Undang-Undang
Informasi Komunikasi Dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan
Tim dari universitas yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran
(Unpad), Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Pada tanggal 5
september 2005 secara resmi Presiden
Susilo Bamgbang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR
melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri
Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia) sebagai wakil pemerintah dalam
pembahasan bersama dengan DPR RI. Dalam rangka pembahasan RUU ITE Departerment
Komunikasi dan Informasi membentuk Tim Antar Departemen (TAD). Melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23
Januari 2007.
Bank Indonesia masuk dalam Tim Antar Departemen
(TAD) sebagai Pengarah (Gubernur Bank Indonesia), Nara Sumber (Deputi Gubernur
yang membidangi Sistem Pembayaran), sekaligus merangkap sebagai anggota
bersama-sama dengan instansi/departemen terkait. Tugas Tim Antar Departemen
antara lain adalah menyiapkan bahan, referensi, dan tanggapan dalam pelaksanaan
pembahasan RUU ITE, dan mengikuti pembahasan RUU ITE di DPR RI. Dewan
Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan
membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10
(sepuluh) Fraksi di DPR RI.
Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris
Masalah (DIM) atas draft RUU ITE yang disampaikan Pemerintah tersebut, Pansus
RUU ITE menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan
berbagai pihak, antara lain perbankan,Lembaga Sandi Negara, operator
telekomunikasi,aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya pada bulan
Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam
Pansus RUU ITE DPR RI. Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus
DPR RI dengan pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri
Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia) membahas DIM RUU ITE.Tanggal 29 Juni
2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan pembentukan
dunia kerja (panja).
Sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim Perumus
(Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13
Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008. 18 Maret 2008 merupakan naskah akhir
UU ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan keputusan.25 Maret 2008, 10
Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008. UU
ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik akhirnya resmi
dilakukan revisi pada tanggal 27 oktober
2016 serta langsung berlaku 30 hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada
tanggal 28 November 2016. Hal ini sendiri disebabkan karena seluruh fraksi
di Komisi I DPR telah menyatakan persetujuannya untuk membahas revisi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut. Dari persetujuan ini nantinya DPR
akan membentuk Panitia Kerja untuk membahas secara rinci isi revisi tersebut.
2.2. Konten UU ITE
Secara umum, materi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan
mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL
Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian
ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan
masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik. Berikut beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai
alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE);
2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12
UU ITE);
3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik
(certification authority, Pasal 13 dan Pasal 14 UU ITE); dan
4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15
dan Pasal 16 UU ITE)
5. Perbuatan yang dilarang (cybercrimes).
Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
- Konten
ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27,
Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
- Akses
ilegal (Pasal 30);
- Intersepsi
ilegal (Pasal 31);
- Gangguan
terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
- Gangguan
terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
- Penyalahgunaan
alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE)
Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas
dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah
akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim
UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan
disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR di tahun 2008.
Seiring dengan berjalannya waktu banyak sekali kasus-kasus
yang terjadi akibat imbas UU ITE yang dirasa para ahli perlu banyak perbaikan.
Sehingga akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu, pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Revisi
tersebut pun langsung berlaku tiga puluh hari setelah kesepakatan tersebut,
yaitu pada tanggal 28 November 2016 kemari. Setidaknya ada 4 perubahan yang
terjadi pada revisi UU ITE kali ini, yaitu :
- Penambahan
pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu menjelaskan seseorang
boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang
sudah selesai, namun diangkat kembali. Salah satunya seorang tersangka
yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan ke
pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus.
- Durasi
hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya
dikurangi menjadi di bawah lima tahun. Dengan demikian, berdasarkan Pasal
21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya
disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di
bawah lima tahun.
- Tafsir
atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di
pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan
(intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
- Penambahan
ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah berhak menghapus
dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar
undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA,
terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika situs yang menyediakan
informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media, maka akan
mengikuti mekanisme di Dewan Pers. Namun, bila situs yang menyediakan
informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan
media (nonpers), pemerintah dapat langsung memblokirnya.
BAB 3
ANALISA
3.1. Analisa Dampak UU ITE
Dalam era globalisasi ini arus informasi
yang mengalir melalui internet sangatlah deras. Bahkan dapat dibilang segala
hal yang ada di dunia ini dapat dengan mudah didapatkan melalui internet.
Begitupun dengan maraknya gadget yang sekarang menjadi barang yang lumrah
dibawa khalayak umum. Orang-orang pun menjadi melek informasi berkat gadget,
bahkan terkadang dengan gadget seseorang dapat terlihat sangat pintar. Melalui
gadget seseorang dapat dengen mudah menyalurkan aspirasi mereka ke khalayak
umum. Namun tentu ada batasan-batasan yang harus dipatuhi sesuai dengan UU ITE
yang berlaku di Negara Indonesia ini apalagi setelah terjadi revisi terbaru.
Revisi Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik atau UU ITE, yang akan mulai berlaku pada Senin 28
November 2016, tampaknya masih mengundang kontroversi terutama pasal pencemaran
nama baik. Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi, Noor Iza,
menegaskan bahwa revisi UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan
perlakuan yang adil bagi para pengguna internet. Setidaknya ada beberapa
analisa singkat atas revisi UU ITE, yaitu :
- Pasal
Pencemaran Nama Baik
Salah
satu revisi adalah mengatur pasal pencemaran nama baik menjadi delik aduan,
yang berarti hanya dapat diproses secara hukum jika dilaporkan oleh korban atau
sesorang yang merasa menjadi sasaran. Apabila ditilik lebih dalam dapat diambil
contoh bahwa ketika ada oarng lain diluar yang bersangkutan hendak melaporkan
delik aduan, maka hal tersebut secara UU tidak dibenarkan. Padahal dalam
menyampaikan/mengadukan tindak pidana cybercrime tentu semua orang memiliki hal
yang sama, tidak melulu harus orang yang bersangkutan atau disebut sebagai
korban. Oleh karena itu pada pasal pencemaran nama baik ini masih banyak
diperdebatkan oleh para ahli hokum, banyak yang menyangkal bahwa revisi UU
tersebut masih terbilang belum matang. Akan tetapi apabila dilihat dari contoh
kasus diatas sepertinya masih butuh kajian yang lebih mendalam terkait
pencemaran nama baik. Hal terpenting yang harus dipatuhi adalah tetap
berpedoman pada KUHP yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan hal yang kontradiktif terhadap konstitusi yang telah ada sejak
awal.
- Hukuman diringankan
Perubahan
lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari maksimal enam
tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku pencemaran nama baik tidak
akan ditahan. Alasannya dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan perlu dilakukan
jika ancaman penjara di atas lima tahun.
UU
ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman karena
dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu yang menjadi korban
adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit swasta melalui
email pribadi yang kemudian tersebar di dunia maya. Prita kemudian ditahan
walau Pengadilan Tangerang akhirnya membebaskannya dari pencemaran nama baik.
- Blokir pemerintah
Lewat
revisi ini, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk memutus akses informasi
elektronik yang dianggap melanggar hukum. Berbagai ahli berpendapat bahwa
ketentuan tersebut sebenarnya sudah lama diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo
walau belum ada undang-undang sebagai payung hukum yang menegaskan pemerintah
wajib memblokir konten negatif.
Hal-hal
yang dapat diblokir itu mengacu lagi pada UU lain. Misal jikalau konten yang
diblokir terkait terorisme maka hal tersebut akan diatur dalam UU Terorisme dan
yang diperbolehkan meminta pemblokiran misalnya BNPT. Serta apabila konten yang
ada terkait dengan obat-obatan terlarang, maka akan diatur lewat UU kesehatan
dan hanya BPOM serta badan sejenisnya yang diperbolehkan meminta pemblokiran.
Oleh karena itu pihak Kominfo memiliki pekerjaan berat untuk menerapkan blokir
yang tepat sasaran, adil, cepat dan transparan. Karena apabila blokir tidak
tepat sasaran tentu dapat merugikan beberapa pihak dan menimbulkan perpecahan
antar golongan.
- Right
to Be Forgotten
Selain
perubahan pencemaran nama baik, revisi juga menambahkan ketentuan
mengenai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan
dengan menghapus konten informasi elektronik yang tidak benar, berdasarkan
keputusan pengadilan. Penghapusan konten ini dilakukan untuk semua data di
internet setelah dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk membersihkan
nama baik seseorang. Agar konten-konten itu tidak dapat diakses, dikeluarkan
dari sistem yang terbuka atau konten-konten itu dihapus. Tidak lagi dapat di-search jadi search engine harus
menghilangkan dan juga server-server harus menutup konten-konten itu agar tidak
dapat diakses. Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan
ketentuan right to be forgotten, namun
sudah banyak diterapkan di negara-negara lain khususnya di belahan barat.
Dengan
adanya right to be forgotten ini dapat memberikan efek
positif bagi korban yang mengalami pencemaran nama baik. Karena sebelum adanya
UU yang mengatur ini banyak korban pencemaran nama baik yang citra nya tidak
bisa dikembalikan seperti awal mula. Sehingga dapat menimbulkan kerugian secara
non materiil bagi korban yang terkena dampak. Maka dari itu revisi UU yang satu
ini banyak didukung oleh para ahli yang bergerak di bidang IT. Harapannya tentu
dapat membantu memperbaiki nama seseorang yang telah tercemar namanya.
BAB IV.
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari pemaparan analisa diatas dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwasannya pekerjaan rumah dari Kominfo sangatlah
berat. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia
sekarang. Apabila undang-undang yang diterapkan tidak berjalan seperti
seharusnya tentu akan berdampak negatif bagi banyak pihak. Sudah banyak sekali
kasus cybercrime yang terjadi di Indonesia ini. Harapannya dengan revisi UU ITE
ini dapat mengurangi tingkat kejahatan cybercrime yang terus melanda pengguna
internet Indonesia. Tentu juga dengan adanya UU ITE ini semoga tidak membatasi
kebebasan berekspresi dari rakyat Indonesia. Karena pada hakikatnya menyampaikan
pendapat merupakan hak dari seseorang. Namun perlu kita cermati bahwa Kominfo
tidak akan bisa bekerja dengan sendiri dan tentu butuh bantuan serta pengawasan
dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu mari kita tumbuhkan rasa peduli
dalam diri kita sehingga dapat ikut mengawal berjalannya pemerintahan yang ada
secara maksimal.
4.2. Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Republik Indonesia
2. Wikipedia : Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
4. Sejarah Undang – Undang ITE
5. Revisi UU ITE membatasi kebebasan berekspresi?
- ‘Tidak
ada perbaikan’ kebebasan berekspresi di Indonesia
- Setumpuk
PR pasca revisi UU ITE dijalankan
Komentar
Posting Komentar