MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MASYARAKAT
MADANI DAN KEJAHTERAAN UMAT
Mata kuliah umum PAI
Disusun oleh:
1.
Mizanurafi’ G.
P. (181910401030)
2.
M. Abdul Aziz
F. (181910401045)
3.
Siti Safinatun
N. (182110101135)
4.
Safira Sahida
D. (182110101148)
Dosen Pengampu:
Pak Ervan
Mata Kuliah Umum Pendidikan Agama Islam
UNIVERSITAS JEMBER
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perujukan terhadap masyarakat
Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya,
tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan
amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan
dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui
Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap
kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat
untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah
mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu
waktu saja.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah yang diangkat
oleh penyusun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
konsep masyarakat madani?
2. Bagaimanakah
peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
3. Bagaimanakah
sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
4. Bagaimanakah
konsep zakat dan wakaf menurut ekonomi islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN
KONSEP MASYARAKAT MADANI
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Pemaknaan civil society
sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah
yang dibangun Nabi Muhammad. Perbedaan antara civil
society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas,
dan gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sedangkan masyarakat
madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Maka dapat dikatakan
masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi serta menjunjung tinggi nilai-nilai
etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.
1. Masyarakat
Madani dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam
sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: Masyarakat Saba’
(masyarakat di masa Nabi Sulaiman) dan Masyarakat Madinah, perjanjjian Madinah
antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama
Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah
berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk, menciptakan kedamaian dalam
kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan
Rasullullah SAW sebagai pemimpin, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.[1][1]
2. Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
a. Terintegrasinya
individu dan kelompok kedalam masyarakat melalui kontrak sosial
b. Menyebarnya
kekuasaan sehingga terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara.
c. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
d. Meluasnya kesetiaan
dan kepercayaan dan tidak mementingkan diri sendiri.
e. Damai dan
individu maupun kelompok menghormati pihak lain secara adil.
f. Toleran
dan tolong menolong antar sesama
g. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
h. Berperadaban
tinggi, misalnya kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
i.
Bertuhan dan berakhlak mulia.
Meski Alquran tidak menyebutkan
secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau
petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam
sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang
ideal kita dapat meneladani Rasulullah dalam menumbuhkembangkan konsep
masyarakat madani di Madinah.
B. PERAN
UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali,
al-Farabi, dan yang lain.
1. Kualitas SDM
Umat Islam
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran
ayat 110 yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang
yang fasik.”
Dari ayat di atas sudah jelas bahwa
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok
manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah
keunggulan kualitas SDM-nya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
2. Posisi Umat
Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia jumlah umat
Islam ±85% tetapi karena kualitas SDM-nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
C. SISTEM EKONOMI
ISLAM DAN KESEJAHTERAAN UMAT
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan
manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan
Allah). Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat
diterima dalam Islam melainkan hanya milik Allah saja, sedangkan manusia
hanyalah memiliki hak milik nisbi atau relatif. Pernyataan dan batas-batas hak
milik dalam Islam sesuai dengan sistem keadilan hak-hak semua pihak yang
terlibat di dalamnya.
Islam mempunyai dua prinsip utama,
yakni pertama, tidak seorangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan
kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain
dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja.
Sebagaimana dalam QS. al-Syu’ara ayat 183, artinya: “Janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi
dengan membuat kerusakan.”
Dalam komitmen Islam yang khas dan
mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial. Akan tetapi,
konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang
keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang
sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah
sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl
ayat 71 disebutkan, yang artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari
sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka
miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.”
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh
menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau
kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Alah. Sebagaimana Firman
Allah dalam QS. An-nisa ayat 114, yang artinya: “Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena
mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi
utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Dengan melaksanakan kedua
hubungan itu dengan baik, maka hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Amiin....
D. MANAJEMEN ZAKAT
1. Pengertian dan
Dasar Hukum Zakat
Zakat dibebankan atas harta yang
telah mencapai nisab dan haul kepada orang yang berhak menerimanya dengan
syarat-syarat tertentu. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam
yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat, wajiblah
mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat
berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Menurut
istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq.” Zakat merupakan
pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk mengalahkan
kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Allah telah berfirman dalam QS.
al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa
yang kamu kerjakan”.
Adapun harta-harta yang wajib
dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak, harta
perdagangan, harta galian (harta rikaz).
Sedangkan orang-orang yang berhak
menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Riqab, Gharim, Fi
sabilillah, Ibnussabil.[2][3]
2. Sejarah
Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memasuki Indonesia,
zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber-sumber dana untuk pengembangan
ajaran Islam. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan digunakan untuk
melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938
pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi
pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda
melarang semua pegawai dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan
zakat. Hal itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di
kalangan umat Islam. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh
satu-satunya badan resmi yang mengurus masalah zakat. Pada masa orde baru
barulah perhatian pemerintah terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari
anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien
serta mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan yang
lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya badan amil di
berbagai provinsi.
3. Manajemen
Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang
kurang optimal, sebagian masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan
pengelolaan zakat secara produktif, Pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan
masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola zakat,
infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat.
Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan
beberapa prinsip, antara lain:
a. Pengelolaan
harus berlandasakn al Quran dan as Sunnah.
b. Keterbukaan.
c. Menggunakan
manajemen dan administrasi yang tepat.
d. Badan/lembaga amil
zakat harus mengelolah zakat dengan sebaik-baiknya.
Dan amil harus berpegang teguh pada
tujuan pengelolaan zakat, yaitu:
a. Mengangkat
harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan dan
penderitaan.
b. Membantu
pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
c. Menjembatani
antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
d. Meningkatkan syiar
Islam
e. Mengangkat
harkat dan martabat bangsa dan negara.
4. Hikmah Ibadah
Zakat
Zakat memiliki hikmah yang besar.
Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa manusia untuk suka berkorban dan
membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai
pemilikan harta yang banyak dan berlebih. Bagi mustahik, zakat memberikan
harapan akan adanya perubahan nasib dan sekaligus menghilangkan sifat iri,
dengki dan suudzan terhadap orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si
kaya dan si miskin dapat dihilangkan. Dan bagi masyarakat muslim, melalui zakat
akan terdapat pemerataan pendapatan dan pemilikan harta di kalangan umat Islam.
E. MANAJEMEN
WAKAF
Wakaf di satu sisi berfungsi sebagai
ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Dalam
fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di
kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat
bernilai dalam pembangunan umat.
1. Pengertian
Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb”
artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah memberikan sesuatu
barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta tetap
bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan
(yang meneriman wakaf). Sebagaimana hadits: Abu Hurairah r.a. menceritakan,
bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal dunia, maka
terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah
jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).
2. Rukun Wakaf
a. Yang berwakaf,
syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri
b. Sesuatu yang
diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.
c. Tempat berwakaf
(yang berhak menerima hasil wakaf itu).
d. Lafadz wakaf.
3. Syarat Wakaf
a. Ta’bid, yaitu
untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
b. Tanjiz, yaitu
diberikan waktu ijab kabul.
c. Imkan-Tamlik,
yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.
4. Hukum Wakaf
Pemberian wakaf tidak dapat ditarik
kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf yang ikhlas karena
Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat
dimanfaatkan oleh umum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam mewujudkan masyarakat madani
dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita
harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan cara
menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada pada
zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat
madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat,
khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung
kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula
hasilnya.
Di dalam Islam mengenal yang namanya
zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat hingga
mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada pula wakaf,
wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat
jalinan antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi
yakni fungsi ibadah, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan
menjalankan syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki
kehidupan bangsa ini secara perlahan.
B. PENUTUP
Demikian karya ilmiah yang dapat penyusun sajikan. Kritik dan saran yang
konstruktif sangat penyusun harapkan demi perbaikan selanjutnya. Dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amiiinn..
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum
Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.
Sudarsono, Pokok-pokok
Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 92
Sudarsono, Pokok-pokok
Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 94
Sudarsono, Pokok-pokok
Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 99
Komentar
Posting Komentar